Posisi Manajerial

Posisi manajerial atau struktural manajerial pada suatu organisasi adalah posisi inti (pemimpin / nahkoda) pada bidangnya masing masing untuk mendukung keberlangsungan operasional organisasi. Demikian juga pada organisasi pendidikan (kampus). Posisi manajerial tentunya bertolak belakang dengan posisi dosen biasa. Walaupun pengisi posisi tersebut biasanya diambil dari dosen biasa juga. Namun ada perbedaan signifikan adalah, dosen biasa hanya cukup memikirkan beban kerja pribadi, apakah aktivitasnya sudah memenuhi syarat minimal pada pengajaran, riset, dan pengabdian masyarakat. Tidak jarang beberapa dosen pandai mengatur waktu sehingga, mereka bisa berkarya lebih seperti mempunyai waktu untuk membuat riset lebih banyak, menulis buku, proyek pengabdian masyarakat dan lain sebagainya. Namun semua itu masih terpusat pada target pribadi. Bahkan mungkin malah banyak juga yang tidak tahu (tidak memperoleh informasi) mengenai kondisi strategis kampus, day to day atau month to month operation, karena aktivitas berpusat pada masing masing individu dosen. 

Jabatan manajerial membuat kita berpikir lebih luas (makro), membuat kebijaksanaan, menjalankan pelaksanaan kegiatan, melakukan pengawasan, dan evaluasi kegiatan berkerja sama dengan organ fungsi lain di kampus. Tujuannya adalah untuk pengembangan kampus dan “sustainibility”nya. Saya sendiri bukan orang yang belajar khusus mengenai organisasi, tapi rasanya saya bisa memperkirakan bagaimana caranya mendukung tujuan (visi dan misi) kampus. 

Tulisan ini berkaitan dengan kabar terbaru “agak mengejutkan” yang saya terima beberapa hari yang lalu, yaitu promosi untuk mengisi salah satu jabatan manajerial di kampus. Menjadi bagian dari manajemen bukan merupakan pekerjaan mudah. Akan terjadi perubahan paradigma, dari yang terbiasa prioritas kerja dosen biasa, sekarang saya harus berpikir lebih luas. Tugas saya di research center, yang artinya lebih banyak fokus kepada “enhance” aktivitas riset dalam bentuk kolaborasi, hibah, kemudian juga aplikasinya ke dalam dunia nyata. Salah satu output nyatanya adalah Non Tuition Fee. Cukup berat, tapi rasanya tidak perlu kuatir, karena potensi dosen di kampus cukup besar untuk mendukung hal hal diatas, tinggal dikondisikan saja.

Tapi sepertinya nanti saya tidak akan bisa sering sering untuk update blog seperti sebelumnya, but lets see ..

 

IMG 5653

Kenapa Orang Terbaik Pergi Meninggalkan Perusahaan ?

Gambar di artikel ini saya peroleh di media sosial dari sumber yang tidak saya ketahui, tetapi saya setuju dengan isinya. Terjemahaan bebasnya adalah :  jika orang orang terbaik dalam suatu perusahaan pergi meninggalkan perusahaan tersebut, maka kemungkinan terbesar kesalahan ada pada manajer atau supervisor diatasnya. Menurut survey kebanyakan pekerja mengundurkan diri bukan karena ada masalah dengan perusahaannya tapi lebih karena bermasalah dengan manajer atau supervisor diatasnya (manajemen)

Saya beberapa kali mendapatkan situasi seperti diatas. sehingga mau tidak mau saya setuju dengan pendapat tersebut. Mungkin juga selama ini dalam pengalaman bekerja, saya belum pernah bergabung di perusahaan tingkat dunia, dimana talenta talenta yang luar biasa akan “dipelihara” untuk tetap selalu kreatif.  Di perusahaan kelas dunia seperti Google dan Apple, karyawan selalu dituntut untuk kreatif, dan sampai lingkungan kerja pun dirancang sedemikian rupa untuk memacu kreativitas para karyawan 

Di Indonesia, kreativitas masih sulit untuk dipelihara dan ditumbuhkan (nurture). Sebagian besar masih  menganut sistem kolektivitas dan fungsi fungsi spesifik seperti komponen dalam pabrik. Sedikit ruang tersedia untuk memacu kreativitas. Memang ini bergantung kepada jenis bisnis dari perusahaan tersebut. Tapi banyak perusahaan besar (saya tidak akan menyebutkan namanya) mempunyai struktur organisasi / jalur komando yang kompleks dan sistem komunikasi yang buruk, sehingga interpretasi komando sering tidak lengkap atau bahkan salah interpretasi. Kondisi tersebut membuat kecil kemungkinan bisa memacu karyawan untuk kreatif dalam bekerja, berpikir dan berada di luar jalur jalur yang ada, selalu termotivasi, inline dengan visi perusahaan, Malahan sebagian besar tidak mampu keluar dari comfort zone dan job description yang dipunyai.

Di Indonesia, mengelola organisasi bukanlah hal yang mudah. Banyak faktor membuat yang menyebabkan seperti faktor budaya (sungkan, senioritas, nepotisme, dll) yang menyebabkan segala sesuatu tidak menjadi tegas dan lugas dalam menegakkan aturan dan menilai secara jujur performansi karyawan dilihat dari sisi potensi dan kreativitas.

Orang orang terbaik (kreatif) cenderung mempunyai ego yang besar dan sulit bekerja sama dengan orang orang yang ritme bekerjanya berbeda dan sering membenci kegiatan adminstratif. Ini akan menjadi masalah bila manajemen tidak dapat menanganinya dengan baik sehingga muncul konflik. Dalam banyak kasus pekerja kolektif lebih disukai dan lebih dipelihara daripada talenta talenta khusus. Banyak alasan yang muncul mulai dari standardisasi aturan, supaya tidak pilih kasih, dll. Padahal perlakuan berbeda pantas diberikan oleh manajemen untuk pekerja dengan skill dan passion yang berbeda, pada akhirnya toh tinggal disesuaikan saja dengan target yang diberikan. 

Saya bukan ahli organisasi atau sumber daya manusia. Opini yang saya tuliskan adalah hasil dari proses heuristic secara natural. 

Just my two cents .. 

BH5pCwbCcAA f T